Sejarah perekonomian Indonesia dibagi menjadi beberapa periode yakni :
1. Pemerintahan Orde Lama (1950-1996)
2. Pemerintahan Orde Baru (1966-Mei 1998)
3. Pemerintahan Transisi (Mei 1998-November 1999)
4. Pemerintahan Reformasi hingga Kabinet SBY (2000 – sekarang)
1. Pemerintahan Orde Lama (1950-1996)
2. Pemerintahan Orde Baru (1966-Mei 1998)
3. Pemerintahan Transisi (Mei 1998-November 1999)
4. Pemerintahan Reformasi hingga Kabinet SBY (2000 – sekarang)
Indonesia mencoba untuk mulai membangun pemerintahan sendiri pada
awal kemerdekaan, namun hal itu tidaklah mudah karena dipenuhi oleh
masalah yang timbul. Pada awal kemerdekaan itu pula, Indonesia dilanda
gejolak politik yang membawa pengaruh pada perekonomian negara. Sehingga
menyebabkan perekonomian di Indonesia sangat buruk, walaupun sempat
mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama
dekade 1950-an.
Kondisi Awal Perekonomian Indonesia
Dalam tahap ini, mengelola bangsa yang masih baru tergolong bukanlah
hal yang mudah. Berbagai macam permasalahan mulai dari ekonomi, sosial,
dan politik tumpah ruah dalam satu waktu. Perekonomian carut marut
akibat perang melawan Jepang dan Belanda. Kebijakan ekonomi praktis
sulit dilakukan pada awal kemerdekaan, karena tekanan dari pemerintahan
Belanda yang melakukan agresi militer di Indonesia (Soesatro dan
Budiman, 2005). Kebijakan ekonomi pada empat tahun pertama Indonesia
dilakukan untuk menunjang kepentingan perang dan diplomasi internasional
Indonesia. Salah satu kebijakan ekonomi yang dilakukan Indonesia adalah
penjualan candu ke luar negeri (Anwar, 2009). Indonesia memerlukan dana
untuk membiyai berbagai perundingan internasional dan peralatan perang
Indonesia. Kebijakan yang dilakukan oleh Bung Hatta adalah menjual candu
ke pasar internasional (Anwar, 2009). Melalui penjualan candu inilah
Indonesia dapat mengisi cadangan devisa kali pertama.
Pasca agresi militer Belanda, Indonesia pun dihadapi oleh berbagai
persoalan ekonomi. Sesuai hasil keputusan KMB, Indonesia harus membayar
utang Belanda sebesar US $ 1,1 Miliar. Pembayaran utang itu tentu
memberatkan keuangan negara yang saat itu masih sangat minim. Selain
itu, Indonesia juga dihadapkan pada tingginya tingkat inflasi. Pada
tahun 1951, inflasi Indonesia mencapai 65%. Inflasi tersebut bersifat
demand pull, yang diakibatkan oleh korean boom (meningkatnya permintaan
beberapa komoditas akibat perang Korea). Inflasi ini coba diperangi
dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan membuka keran import
seperti yang dilakukan oleh Sumitro Djojohadikusumo (saat itu menjabat
menteri keuangan). Keadaan sedikit membaik pada 1957, dimana inflasi
berhasil ditekan hingga mencapai 5% dan PDB meningkat 20% dibandingkan
tahun 1951.
Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1955
a.Rusaknya prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
b.Blokade laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor terhenti.
c.Agresi Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
d.Dimasyarakat masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
e.Pengeluaran yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang gerilya. (Suroso, 1994).
f.Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
g.Defisit APBN yang terus meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
h.Tingkat produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
a.Rusaknya prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
b.Blokade laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor terhenti.
c.Agresi Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
d.Dimasyarakat masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
e.Pengeluaran yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang gerilya. (Suroso, 1994).
f.Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
g.Defisit APBN yang terus meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
h.Tingkat produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumen perencanaan pembangunan, yakni :
a.Rencana dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
b.Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
c.Rencana Juanda (1955) Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
d.Rencana Delapan tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumen perencanaan pembangunan, yakni :
a.Rencana dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
b.Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
c.Rencana Juanda (1955) Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
d.Rencana Delapan tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno
Situasi keamanan (Agresi Belanda 1947, 1948, pemberontakan PKI di
Madiun 1948) dan silih bergantinya kabinet maka tidak dimungkinkan
adanya program kebijaksanaan yang bisa dijalankan secara konsisten dan
dan berkesinambungan. Sehinggap antara tahun 1949-1959 terjadi 7 kali
pergantian kabinet (yang rata-rata berumur 14 bulan) sehingga cukup
sulit menilai program ekonomi apa yang telah berhasil diterapkan
masing-masing.
Pada awal tahun 1950-an kebijaksanaan moneter di negara ini cenderung
bersifat konservatif (jumlah uang yang beredar tumbuh dengan mantap,
tetapi terkendalikan dengan laju 22 % per tahun antara 1951 – 1956).
Kemudian selama tahun-tahun terakhir dasawarsa 1950-an jumlah uang yang
beredar tumbuh dengan lebih cepat antara 1956 – 1960. Kebijaksanaan
moneter selanjutnya semakin terkesan sebagai hasil sampingan dari dunia
politik dan dari kebutuhan untuk membiayai defisit APBN yang semakin
membesar. (Stephen Grenville dalam Anne Booth dan Peter Mc Cawley, ed.,
1990).
SUMBER : http://mhalaluph.wordpress.com
SUMBER : http://mhalaluph.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar